Aku tidak ingin kembali ke masa lalu. Titik.
Aku punya masa lalu yang indah, bersanding dengan cerita dongeng ala Barbie. Aku punya pangeran—tampan dan baik hati. Kompleks dengan perangai santun dan aura menyenangkan. Sosok lelaki yang diidamkan oleh kaum hawa manapun. Aku punya kastil—lengkap dengan keluarga seisinya. Tapi aku tidak ingin ke masa itu, ikrarku sudah terpoklamir dengan lantang : hidupku yang sekarang jauh lebih menyenangkan.
Aku tidak akan lupa masa laluku. Pasti. Tanda seru.
Setiap moment itu selalu terbayang di kenang hariku. Menembus membran sel otakku, menerobos tanpa permisi. Detik menatapmu, menit menggenggam jemarimu serta jam-jam yang tak terhitung saat lenganmu melingkar sempurna di pundakku. Sesederhana itu namun sensasinya berlipat ganda tak terhingga. Kamu bahagia, sayang? Aku bahagia. Tapi aku tidak ingin kembali ke masa itu. Titik.
Jeda panjang, aku menghela nafas.
Sayangnya, takdir Tuhan, kita tidak pernah paham, sayang. Tak pernah lelah aku berandai-andai, semoga ending yang sempurna akan menjadi bab akhir perjalanan kita. Menikah, resepsi sederhana, bulan madu, membangun keluarga kecil, menyimpul dasimu setiap pagi, berdoa khusyuk satu saf di belakangmu, menyiapkan hidangan yang kubuat sendiri, bertukar pendapat tentang nama bayi dan menimangnya. Anak kita—kamu versi miniatur. Semuanya terwujud, demi Tuhan aku bersyukur. Kecuali bagian yang terakhir. Kamu belum sempat mengumandangkan adzan di telinga jagoan kecilmu, belum sempat mendengar jerit tangis pertamanya dan belum sempat mengecup ubun-ubunnya. Ia belum sempat memanggilmu Ayah.
Spasi, mataku mulai berair.
Kamu sudah berlalu, tak sempat berpamitan. Tubuhmu hanya terpaut jarak sekian meter dariku, namun rasanya sungguh jauh. Tidak bisa aku rengkuh. Aku haru aku pilu. Kita berbaring di bawah atap yang sama—Rumah Sakit. Aku di kamar bersalin dan kamu di ruang ICU. Aku berhasil melahirkan senyawa baru sementara kamu—meregang nyawa. Seandainya boleh bertukar posisi, please? Air mataku sudah habis, tak tersisa. Kelenjarnya tidak berfungsi, mungkin ikut mati.
Dalam kurung. Si kecil menangis, mengertikah ia?
Ayahmu sudah pergi, nak.
***
Empat tahun berlalu tanpa ada pengganti kamu. Kamu berhasil menyedot habis seluruh memoriku. Ibarat RAM 512 MB, kini hanya tersisa sekian kilobyte. Sedikit memang, namun seumpama virus berekstension .exe, RAM milikku ini terus-menerus meracau tentang kamu. Abyanku. Abyan kita. Namamu sayang, kuwariskan juga pada jagoan kecil kita. Refleksimu secara utuh. Alis lebat yang bertaut itu, sumringah yang ceria itu, bibir tipis yang kadang kala mengerucut tanpa sebab (aku gemas) serta helai hitam legam yang berantakan manakala dihembus semilir. Tuhan Maha Adil—dititipkanNya lagi kamu kepadaku. Itulah kenapa, aku tidak ingin kembali ke masa lalu.
Reska Abyanda Saputra masih bersamaku, selalu.
***
(Ost. Barry Manilow - This Ones for You)
0 komentar